Catatan kecil. Ahad, 24 Nop. 2019.
---
Masih pagi. Matahari baru beberapa saat muncul. Sinarnya merangkak naik. Satu dua bapak tani nampak mulai melangkah. Memasuki medan tempurnya : hamparan sawah.
Jam 06.50 Sabtu kemarin. Saya buru-buru. Belum sempat mandi. Saya membelah jalan pinggiran desa. Menuju kompleks Ngloji. Ingin ambil gambar Kantor PCM Minggir. Untuk suatu keperluan. Pendukung expo LPCR di Limbung, Gowa, Sulsel.
Sebenarnya saya sudah 2 kali mengambil gambar Ngloji. Namun ternyata 'angel' gambarnya belum pas. Halaman Nglojinya terlalu dominan. Ruang di atas gedung minim sekali. Gambarnya kurang hidup. Langitnya tidak kelihatan.
Setelah dirasa sudah sesuai, pengambilan gambar gedung Nglojipun selesai.
Sayapun segera beranjak pulang. Melewati bulak panjang depan kecamatan.
Belum lagi separuh perjalanan. Di depan nampak seorang ibu tua berjalan. Beralas sandal jepit. Menggendong barang di punggungnya. Dengan sehelai jarik yang dilingkarkan ke badannya. Nampak sedikit terhuyung-huyung. Keberatan bawaan.
Saya dekati. Nampak sekali dia kelelahan. Saya hampiri. Saya menepi.
"Monggo Mbah sareng kula. Kula bonceng," kata saya.
"Njenengan ajeng teng pundi Nak?" tanyanya.
"Kula ajeng wangsul. Griya kula Jetis Depok. Wetan mriku niku," kata saya, sambil menunjuk arah Timur.
"Simbah badhe tindak pundi ?" tanya saya.
"Ajeng teng Sregan," jawabnya.
Saya mengernyitkan kening. Merasa agak aneh dengan nama itu. Sregan.
"Mungkin yang dimaksud adalah Sragan atau Kergan," batin saya.
Tiba-tiba muncul seorang ibu setengah baya. Dia bersepeda dengan barang bawaan di belakangnya.
"Mbahe niku mpun awit wau mubeng-mubeng teng Kilen niku mas. Kadose Mbahe mpun bingung niku," kata si ibu menjelaskan.
"Nggih Bu. Matur nuwun. Niki ajeng kula dugegke teng daleme. Mesakke," kata saya.
"Mbahe ajeng tindak pundi mas?" tanya si ibu.
"Ajeng teng daleme pak Supardi. Putrane Simbah niki. Daleme Sregan," kata saya.
"Sregan niku mboten onten Mas. Ontene Sragan. Utawi Kergan," jawab si ibu.
"Nggih Bu. Cobi kula dugegke teng Kergan mawon. Mbok menawi onten sing tepang," sambung saya.
Singkat cerita.
Di Kergan, tidak ada yang namanya Supardi. Yang asalnya Mboro.
Saya bingung. Lha terus piye iki?
Kepalang tanggung.
"Mosok tega ninggalkan Simbah ini. Kebingungan sendirian," batin saya.
Motor saya hentikan. Saya menepi.
"Kendel riyin nggih Mbah," kata saya.
Saya mencoba menanyai Simbah sekali lagi. Barangkali ada 'sesuatu' yang bisa menjadi kunci. Menemukan rumah anaknya.
"Simbah mpun nate tindak teng daleme pak Supardi niku," tanya saya.
"Sampun," jawabnya.
"Anak kula, Supardi niku nembe setahun pindah teng Sregan niku," terang Simbah.
"Griyane ancer-ancere nopo Mbah?" tanya saya.
"Pokokmen, griyane anak kula niku cedhake gerdhu cat e kuning. Teng kilen desa," kata Simbah.
"Walah ...gerdhu cat e kuning. Nong ngendi iki?" fikir saya.
"Simbah rak nggih mpun nate tindak teng griyane pak Supardi to nggih Mbah ?
"Sampun. Kula nggih di bonceng motor kados niki," wabnya.
"Medal pundi Mbah," tanya saya.
"Medal gereja ageng. Lajeng ngaler terus ", jawabnya.
Mendengar jawaban Simbah, saya langsung paham.
"Mungkin yang dimaksud Simbah adalah Dusun Kerdan", fikir saya.
"Mpun Mbah. Kula mpun paham. Simbah minggah malih mawon. Kula dugegke mrika", kata saya.
Dan, sayapun memacu motor. Membonceng Simbah. Menuju satu arah : ' KERDAN'.
Tahulah saya. Bahwa Simbah itu bernama Mbah Karto Semangun. Asalnya : Mboro, Kalibawang, Kulon Progo.
Ketika saya tanya umurnya, dia ngaku : 98 tahun.
"Betulkah ?
"Ah nggak penting".
Yang lebih penting adalah segera menemukan rumah pak Supardi, anaknya. Sebab kalau tidak ketemu, ruwet nantinya. Saya harus ngantar Mbah Karto ke mana lagi ? Ada opsi terakhir. Yakni, mengantar Mbah Karto Semangun ke Polsek. Tapi itu terakhir.
Kamipun sudah melewati Dusun Kwayuhan. Di depan lagi sudah Kerdan.
Sudah hampir sampai Kerdan. Tiba-tiba saya melihat sesuatu. Saya ingat apa yang tadi disampaikan oleh Mbah Karto. Saya melihat gerdhu cat e kuning. Persis di kulon ndesa.
"Pas..sudah pasti ini", fikir saya.
Kamipun masuk dusun Kerdan.
"Lha niki gerdhu ne Mbah. Niki cat e kuning. Leres niki nggih Mbah ?", tanya saya.
"Nggih Nak. Saking gerdhu niku terus mawon ngidul mrika", kata Mbah Karto.
Sudah masuk ke dalam dusun.
"Sing pundi griyane Mbah ?", tanya saya.
"Sing pundi nggih. Kula kesupen e Nak", jawabnya.
"Waduh".
Saya agak khawatir. Muga-muga saja tidak salah.
Sudah melewati Kerdan. Masuk Soromintan.
Tiba-tiba.
"Lha ngriki niki Nak. Niku griyane anak kula", kata Mbah Karto.
Segera kami pun berhenti. Mbah Karto turun dari motor. Dan berjalan ke arah Barat. Menuju sebuah rumah. 20 an meter dari jalan. Saya mengikuti dari belakang.
Baca Juga : Para Pecinta Beras Ngloji
Dia langsung meletakkan bawaannya.
"Kula nuwun. Di...Pardi...," Mbah Karto memanggil manggil.
Mbah Karto mencoba membuka pintu. Gagang pintu dioglek-oglek. Terkunci.
"Di...Pardi....iki aku mbok mu...," Mbah Karto memanggil lagi.
Tak seberapa lama. Pintu terbuka. Dan muncullah seorang ibu.
"Walah Simbok ta. Kalih sinten Mbok," tanya ibu itu. Yang ternyata adalah menantunya. Istrinya pak Supardi.
Senang melihat kegembiraan Mbah Karto yang sudah ketemu dengan keluarganya. Setelah dengan perjuangan panjang dan melelahkan. Berjalan kaki dari Mboro sampai Kergan. Entah berapa jauhnya.
Dan saya pun akhirnya pamit.
Berkali-kali Mbah Karto mengucap terima kasih. Demikian juga si Ibu. Menantunya.
Akhirnya, sayapun tidak perlu mengantar Mbah Karto ke Polsek.
Syukur Alhamdulillah.
(**)
0 comments: