Catatan kecil. Rabo, 13 Juni 2018.
-----------------------
Sudah terasa 4 hari ini. Kita mulai kedatangan tamu-tamu. Ayah, ibu, suami, istri, kakak, adik, anak, kerabat, teman dan siapapun, yang tengah merantau di tanah orang. Mereka kini tengah kembali.
Di semua wilayah, termasuk di desa sampai dusun di Minggir. Terlihat mobil-mobil luar daerah mulai lalu lalang, memadati ruas jalan. Mobil plat L, F, N, D, AG, AD, AE, dlsb. Dan ini yang dominan plat B, H (antara huruf B dan H, membacanya harus dijeda). He he.
Setelah setahun, dua, tiga tahun bahkan mungkin puluhan tahun. Meninggalkan kampung halaman. Meninggalkan orang tua, sanak kerabat, teman-teman sepermainan. Mencari ilmu dan mengais rezeki.
Mereka kini tengah kembali. Pulang ke kampung halaman. Mudik. Menjalin kembali silaturahim. Sebuah tanda bakti anak kepada orang tuanya. Sebuah tanda cinta kasih seorang ayah atau ibu kepada putra-putrinya. Sebuah bukti masih rekatnya persaudaraan di antara kita.
Begitu kuatnya rasa untuk menjalin kembali silaturahim. Merajut kembali masa-masa lalu, ketika masih bersama-sama sepermainan. Mengenang kembali di saat tahunan bahkan puluhan tahun silam. Ketika masih kanak-kanak dan remaja.
Bersama mandi di sungai. "Lumban" pada sebuah kedung yang agak dalam. Bermain layangan di hamparan sawah yang telah kering tanahnya karena sudah dipanen. Mencari ikan dan belut di parit di antara pematang sawah. Bermain kelereng, dakon, lompat tali, pasaran, masak-masakan.
Terkadang kita juga "dipaksa" untuk membantu ngarit rumput untuk lembu dan kambing peliharaan bapak atau simbah di rumah.
Kita bermain jamuran di halaman depan sebuah masjid ketika purnama malam datang menjelang. Dan kita selalu pergi mengaji TPA di masjid dan langgar yang sama. Bersama-sama. Penuh canda, penuh ceria.
Terlebih ketika puluhan tahun lalu, sebelum dusun-dusun kita tersentuh listrik.
Satu-satunya bangunan yang terang benderang adalah : Masjid dan Langgar. Rumah-rumah bolehlah gelap tak berpelita. Namun, seperti sudah kesepakatan, Masjid dan Langgar haruslah lebih terang.
Di kedua tempat itulah, kita selalu berkumpul. Di kedua tempat itulah, kita selalu berbagi cerita dan informasi, manakala ada sanak kerabat dan teman yang tengah pulang dari perantauan. Jauh sebelum kita mengenal HP dan smart phone.
Dan masih ingatkah, ketika dulu kita diwajibkan untuk mengisi bak mandi yang ukurannya super jumbo. Dengan menimba sampai airnya penuh. Dan sesudahnya, barulah kita bisa mandi sepuasnya.
Dan kita barulah menyadarinya, bahwa itulah bentuk pengajaran kehidupan dari orang tua kita : bahwa sebuah keberhasilan itu didapat bukan dengan instant. Tapi harus ditempuh dan diperjuangkan.
Semua kenangan itu, terlalu indah untuk dilupakan. Terlalu manis untuk dikenangkan.
***
Sekarang Anda semua kembali datang. Datang ke kampung halaman. Kampung tempat Anda dulu lahir, tumbuh dan berkembang. Dengan membawa segudang bukti keberhasilan. Pakaian, rumah, mobil, anak, istri, suami dan apapun lagi namanya.
Kami dan kita pun ikut senang melihatnya. Bahwa, ada seorang teman sepermainan atau saudara yang sukses di tanah orang.
Namun maafkan kami....
Ketika Anda mudik kali ini...
Kami belum bisa memberi, apa yang Anda butuhkan. Di kampung kita ini.
Kami belum dapat menyediakan, apa yang anak-anak atau cucu-cucu Anda inginkan. Di kampung kita ini.
Kami belum mampu mempersiapkan, semua fasilitas agar kebutuhan Anda semua bisa terpuaskan. Di kampung kita ini.
Padahal, kami tahu...
Pasti, Anda sudah membawa segebog nominal
Pasti, Anda sudah bercerita kepada putra-putri atau suami istri Anda, bahwa disinilah Anda dulu berasal
Dan kemudian, Anda ingin berbagi pengalaman dengan mereka. Supaya mereka setidaknya juga ikut merasakan dan larut dalam suasana sebagaimana kita dulu saling berbagi rasa.
Yang itu semua belum pernah mereka rasakan.
Sehingga kami ada mohonkan permintaan kepada Anda :
Kami sekarang mulai sadar, bahwa kampung halaman kita ini ternyata menyimpan segudang potensi. Namun selama ini, kami dan kita semua belum lagi bisa menyadari.
Sawah kita adalah penghasil beras kualitas super. Yang selalu saja beras kita "dibajak" dan kemudian dilabeli "Beras Delanggu". Dan itu akan terus terjadi, sebelum kita sendiri menyadari dan merubahnya.
Hamparan sawah kita sampai kapanpun tetap akan menjadi hamparan sawah. Tak akan bisa memberi nilai tambah kepada kita, apalagi kepada petani dan peternak. Sebelum kita sendiri yang merubahnya.
Eloknya bentangan pegunungan Menoreh dari Utara ke Selatan yang dibatasi oleh meliuknya aliran dan pinggiran Kali Progo, tetap saja seperti itu. Sampai kapanpun. Dan akan selalu seperti itu, sebelum kita jugalah yang harus merubahnya. Bukan orang lain !!
Nampaknya memang harus ada upaya konkrit, dengan membentuk apa yang dinamakan "agropreneur". Yang merupakan kegiatan berkesinambungan dari seluruh potensi pertanian, perikanan, peternakan, Agro wisata dlsb.
***
Oleh karena itu, kami mohon kepada Anda.
Ketika nanti kami tengah membuat konsep perubahannya, bantulah kami dengan pemikiran, ide atau masukan yang konstruktif.
Ketika kami sudah mulai bergerak dan melangkah nanti, bantulah kami dengan sokongan material dan dana.
Ketika nanti kami sudah menghasilkan sebuah produk, bantulah kami dengan promosi dan pemasaran.
Dan ketika nanti semua upaya sudah kami upayakan semampu kami, bantulah kami dengan doa sepenuh hati.
Agar kita kelak bisa melihat, merasakan dan menikmati limpahan kekayaan alam ini.
Oleh karena itu, sudah selayaknyalah kita wajib berterima kasih sepenuh syukur kepada Allah SWT.
Diam- diam saya merenung. Ternyata, kita selama ini tumbuh dan berkembang di bumi-Nya. Kita tinggal di secuil Bumi Mataram. Dan secuil Bumi Mataram itu, bernama : Minggir.
Wassalam.
(*)
Dwi Sumartono
0 comments: