Catatan kecil. Rabu, 4-4-2018.
------------------
" Klinthing ....." ! ! Tiba-tiba sebuah uang logam 500 an rupiah jatuh dari saku celana. Tidak sengaja terjatuh, saat saya membayar bensin di sebuah SPBU. Uang logam tersebut menggelinding, di sela-sela barisan motor yang sedang antri menunggu.
Saya ragu-ragu.
Mau diambil, kok ya malu...
Gak diambil, kok ya ...
Akhirnya..."tak jarno ae wis !!".
Itu hanya satu dari sekian banyak fenomena tentang uang logam. Banyak sebutan tentang uang logam. Ada yang menyebut uang receh, koin receh, recehan, pecahan. Sebagian orang Jawa Timur ada yang menyebut duit ricik. Dan mungkin masih banyak lagi sebutannya.
Apa kesan kita tentang uang logam ? Yang pertama terlintas pastilah : kecil, sedikit, remeh, receh, dan hampir-hampir tak ada artinya.
Saking remehnya uang receh ini, sampai-sampai kita sama sekali tidak perduli dengan keberadaan maupun ketiadannya. Keberadaannya seperti tidak ada. Dan ketiadaannya seperti gak ada pengaruhnya.
Seringkali keberadaannya sampai menumpuk di kantong celana, dompet, laci, kantong tas, kantong jaket, di dash board mobil, jok depan motor matic, dlsb. Ada juga uang receh yang berserak sampai berhari, berpekan bahkan berbulan lamanya, tiada yang memperhatikan. Itulah nasib recehan.
Namun cobalah kita sedikit merenungkan. Apakah betul-betul recehan tersebut sama sekali tak berguna ?
Sekedar ilustrasi. Ada sebuah perkumpulan arisan RT setiap lapanan. Yang terdiri dari 30 KK. Sudah ada kesepakatan bahwa, setiap peserta arisan wajib membawa kotak yang isinya adalah uang recehan. Recehan ini adalah uang susuk (kembalian) dari pembelian apapun. Bisa kembalian ketika belanja di pasar, swalayan, toko, warung ataupun kembalian ketika melakukan transaksi apapun juga.
Ketika arisan, semua kotak terkumpul dan kemudian isinya ditumpahkan di satu wadah. Oleh karena sudah kesepakatan bahwa yang dimasukkan kotak adalah uang receh, isinya ya memang receh. Tak ada satupun uang kertas. Ada recehan 100, 200, 500 dan 1.000.
Bahkan suatu kali, pernah ditemukan uang receh 5 rupiah. Ini mungkin yang memasukkan adalah bapak/ibu yang sudah sepuh atau malah cucunya, yang masih balita.
Tetapi tidak masalah. Yang penting adalah semangat dari satu keluarga tersebut bahwa ketika menemukan uang receh, langsung memasukkannya ke dalam kotak.
Dari setiap arisan, jumlah uang receh yang terkumpul rata-rata Rp. 60.000. Tidak begitu besar, namun juga tidak kecil nilainya, daripada uang receh tersebut tak jelas nasibnya. Ini berarti bahwa setiap KK menyumbang rata-rata sejumlah 2.000 rupiah uang receh pada setiap pertemuan arisan.
Analog dengan kasus di atas, kita juga punya satu moment pertemuan rutin lapanan yakni Pengajian Ahad Wage. Yang juga sudah menyediakan toples untuk setiap jamaahnya.
Jika kita asumsikan jumlah jamaah pengajian Ahad Wage berjumlah 500 orang saja. Kemudian semuanya membawa kotak / toples / apapun wadahnya.
Setiap wadah diisi uang receh masing-masing sejumlah 2.000 rupiah saja, maka setiap Ahad Wage kita dapat dana sebesar Rp. 1.000.000. Hanya dari toples yang berisi uang receh yang selama ini dianggap sepele, remeh dan tiada artinya.
Belum lagi dari kotak infak yang diedarkan. Belum lagi kalau ada yang membayar shodaqoh, zakat ataupun sumbangan lainnya. Pastilah dana yang terkumpul jauh lebih besar. Dengan dana yang cukup, tentunya operasional pergerakan dakwah Muhammadiyah di Minggir akan semakin terlihat.
Konsep diatas kertas, memang nampaknya sederhana. Namun ternyata tidak begitu dalam kenyataannya. Tidak sedikit toples yang tidak ikut terbawa ketika pengajian Ahad Wage. Padahal isinya sudah hampir penuh bahkan mungkin sudah ada yang penuh.
Ada yang alasan lupa. Wonten ingkang kesupen ngasta. Ada nggak ya, yang beralasan malas mbawa ? he he he ...
Untuk itu, adakah yang punya ide untuk memaksimalkan pengumpulan uang receh tersebut ?
Setelah tanah, air, hutan, media, gunung, laut, sungai dan sawah sudah dikuasai orang lain. Apakah uang receh juga harus kita biarkan untuk dikuasai orang lain ? Kalau itu terjadi, kita yang kebangetan. Masak ngurus gitu aja kita gak bisa !!
Betapa nanti negeri ini akan berduka. Sebagaimana sekarang, Ibu Pertiwi lagi menangis karena kehilangan konde.....!!
(*)
Dwi Sumartono
0 comments: