Sang waktu belum lagi
masuk subuh. Ahad, 20 Mei 2018. Hari kelima Ramadhan. Tepat jam 04.20. Selepas makan sahur, saya bergegas keluar
rumah. Sejurus kemudian, saya pacu sepeda
motor menuju arah Barat Selatan.
Tujuannya dusun Tiban, Sendangmulyo.
Entah mengapa, sehabis makan
sahur waktu itu, tiba-tiba terbersit keinginan untuk melihat dan mengunjungi
satu-satunya musholla di dusun
Tiban. Tidak ada maksud apa-apa. Tiba-tiba muncul begitu saja.
Melewati bulak panjang di tengah luasnya persawahan. Menembus dingin dan senyapnya jalan
dusun. Merasakan sunyi dan
senyapnya hawa fajar, waktu itu.
Namun segar luar biasa.
Lamat-lamat terdengar
kumandang adzan subuh dari kejauhan di seberang dusun. Butuh waktu tak lebih dari 5 menit, akhirnya
saya sampai pada tujuan, sebuah musholla di pinggir jalan dusun, Utara lapangan
Tiban, Sendangmulyo.
Musholla minimalis. Berwarna menyolok hijau terang. Sebuah banner nama terpasang di depan
musholla. Pojok sebelah Selatan. Dan tahulah saya bahwa nama musolla itu : AL
IKHLAS.
Setelah memarkir motor, saya
bergegas masuk ke dalam. Saya sempat ragu-ragu.
Karena pintu teras dan pintu musholla masih dalam posisi tertutup. Dan musholla masih kosong. Belum ada orang.
Akhirnya, saya sampai di depan
pintu musholla. Saya memberanikan
diri. Handle pintu saya pegang dan saya
dorong. Alhamdulillah. Ternyata pintu tidak terkunci. Setelah mengucap salam, segera saya
menghambur masuk ke dalam.
Saya menyapu pandang ke semua
arah. Ruang dalam nampak bersih, tak
berdebu. Tanda terawat. Di ujung kiri, sebelah Utara, nampak lemari
kayu terbuka berisi beberapa buah kitab dan beberapa lembar mukena. Di sebelahnya nampak sebuah meja yang mungkin
difungsikan sebagai mimbar. Sedangkan di
kanan sebelah Utara, nampak mikrofon tertempel di pojok dinding.
Saya berinisiatif, akan
mengumandangkan adzan subuh. Tapi
mikrofonnya tidak bisa nyala. Karena
ternyata, ada saklar khusus untuk menghidupkannya.
Selang tidak berapa lama,
datanglah seorang ibu dan disusul kemudian seorang bapak. Kamipun kemudian berjamaah sholat subuh
bertiga. Hanya bertiga. Selepasnya, setelah masing-masing kami
menyelesaikan dzikir, kamipun mengadakan diskusi subuh. Bukan kuliah subuh.
Kamipun terlibat pembicaraan
yang santai dan ringan. Diskusi kami,
mengalir saja, begitu rupa. Saling
berbagi cerita, berbagi pengalaman.
Sampai akhirnya, saya mengetahui bahwa bapak dan ibu tersebut adalah
sepasang suami istri, pemilik musholla Al Ikhlas tersebut. Yang suami bernama pak Jarwadi. Istrinya bernama Bu Prapti.
Mereka baru pindah dari
Semarang, 2 tahun lalu. Juni 2016. Sebenarnya, mereka asli dari Minggir. Oleh karena memenuhi hidup, mereka berdua "ngasta" guru pada sekolah yang berbeda, di tempatkan di
Semarang. Dan akhirnya pun menetap di Semarang.
Ada yang menarik dari mereka
berdua. Ternyata, sebelumnya, mereka
berdua beragama Katolik. Pun juga ketiga
anaknya, semua beragama Katolik. Keluarga besar mereka juga pemeluk
Katolik. Bahkan di Semarang, Pak Jarwadi
merupakan "koordinator" umat Katolik di 5 kecamatan di Semarang.
Sampai pada suatu ketika, terjadilah sebuah keajaiban. Bermula dari obrolan bu Prapti dengan
temannya sekantor. Tiba-tiba, Bu Prapti
menyatakan ketertarikannya kepada Islam.
Sampai pada suatu saat, hidayah itu muncul. Bu Prapti menyatakan kepada temannya, bahwa
dia ingin pindah agama, memeluk
Islam.
Mendengar niatan itu, sang
teman kemudian menyarankan untuk mengajak
berkonsultasi dengan seorang koleganya, yang juga pengurus Muhammadiyah
di Semarang. Singkat cerita, akhirnya
sang Ibu, akhirnya mengucap syahadat.
Dan diikuti oleh sang suami, beberapa saat kemudian. Dan diikuti pula oleh ketiga
anak-anaknya.
Atas saran dari
kolega-koleganya, pengucapan
syahadat 1 keluarga ini dilakukan ulang
di masjid Baiturahim Semarang, disaksikan oleh
jamaah.
Dan mulailah babak baru
kehidupan mereka. Mulai pula
cobaan menguji keteguhan mereka. Cercaan, cemoohan dari komunitas lama. Sekaligus pula, sindiran dan kecurigaan dari
komunitas baru. Silih berganti.
Namun, Allah yang Maha Adil,
selalu akan memberi jalan bagi hamba Nya.
Di tengah ujian yang datang dan pergi itu, Allah memberi penawar dan
penyejuk hati.
Simpati dan empati dari
saudara-saudara seiman muncul untuk menyemangati dan mengobati. Menjadikan semakin kokoh dan kukuhnya
pendirian dan keyakinan mereka akan pilihan hidupnya.
Hari berganti, pekan berjalan, bulan dan tahun berlalu. Tak terasa kedua suami istri inipun akhirnya
purna tugas. Setelah 42 tahun menjadi
penduduk Semarang, muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman.
Mereka sadar bahwa tentu
resikonya akan jauh lebih besar. Pulang
kembali ke tanah kelahiran, ke keluarga besar dengan kondisi yang jauh berbeda
dari sebelumnya. Apalagi hidup dalam
lingkungan yang berbeda dalam posisi minoritas.
Bahkan sangat minoritas.
Tapi keputusan tetap harus
diambil. Apapun resikonya. Pada Juni 2016, mereka pindah kembali ke
kampung halaman. Menetap di dusun Tiban.
Dan mendirikan musholla Al Ikhlas itu.
Sekarang, mereka dan masih
banyak saudara kita mualaf yang lain,
telah berada di lingkungan kita.
Menjadi keluarga besar umat Islam di Minggir ini. Menjadi salah satu organ dari keutuhan sistem
tubuh kita.
Kita berkewajiban untuk
merangkul mereka. Jangan biarkan mereka
sendirian dan dibiarkan sendiri. Bahasa
Jogja yang pas untuk menggambarkannya adalah : kita musti "ngaruhke,
ngarahke dan ngerahke". Agar mereka
bisa merasakan kebenaran akan pilihan hidup mereka. Agar mereka
bisa merasakan tentram dan indahnya menjadi seorang muslim. Muslim yang yang menjadi mawar, melati atau
apapun jenis bunganya, di tengah indah
dan sejuknya taman bunga.
Wassalam.
(*)
Dwi Sumartono.
0 comments: