Sudah lumrah, setiap menjelang Ramadhan harga kebutuhan pokok terus
menjulang. Ada yang berdalih karena umat Islam menjadi konsumtif. Alasan ini
bisa benar bisa juga tidak, karena kalau ditotal kebutuhan yang perlu dicukupi
seharusnya tidak bertambah. Sembilan bahan pokok misalnya, harusnya meskipun
waktu berbuka dan sahur lebih dari porsi biasanya, tetapi pada siang hari
kebutuhan itu berkurang karena tidak ada makan siang.
Armada Beras Ngloji, ada yang menyebutnya 'Bulog' PCM |
Lebih masuk akal apabila harga yang naik terkhusus pada komoditas
tertentu, lauk-pauk, buah-buahan dan semisalnya. Pada masa Ramadhan tingkat
konsumsi untuk bahan pangan tersebut memang cenderung meningkat. Nyatanya,
kenaikan harga tersebut terjadi secara merata di semua bahan pangan. Tentu ini
menjadi satu persoalan tersendiri, di saat umat Islam ingin fokus menjalankan
ibadah, di sisi lain mereka harus dipusingkan dengan kenaikan berbagai
komoditas pangan.
***
Dalam sebuah obrolan dengan seorang kawan yang baru-baru ini ikut
dalam sosialisasi semacam masyarakat wirausaha muslim menerima penjelasan
tentang posisi lemah pengusaha muslim. Katanya, para pengusaha muslim
tertinggal dalam bidang distribusi. Rantai penghubung antara produsen dengan
konsumen banyak dikuasai oleh orang lain. Tak heran jika produsen muslim yang
dianggap memiliki prospek bagus dan menyaingi usaha mereka, akan diputus pada
jalur distribusi.
Teringat saat mengantar seorang kawan melihat pengepul cabe di
daerah Krakitan, Muntilan. Bagaimana puluhan ton cabai dari para petani bisa
dikumpulkan dalam satu tempat. Para petani dari segala penjuru mengantar
sendiri cabai mereka untuk dijual. Posisi tawar petani sangat lemah, karena
harga akan mengikuti patokan dari pengepul. Di sisi lain, para pedagang di
pasar tradisional sangat tergantung dan harus kulakan cabai dari para pemasok. Ada
alur distribusi yang membingungkan.
Lalu ada apa dengan Ramadhan kita? Dari sisi ekonomi, Ramadhan
menjadi masa panen bagi pengusaha. Bisa dibilang apapun komoditas yang dijual,
akan laris. Ramadhan dan Idul Fitri menjadi puncak dari tingkat konsumsi
masyarakat. Tentu mayoritas adalah umat Islam. Tetapi siapa yang menikmati keuntungan
dari adanya lonjakan konsumsi tersebut? Sebagian kecil dirasakan pengusaha
muslim, sebagian besar dinikmati pengusaha non-muslim. Setidaknya ada dua sebab
mengapa justru pengusaha non-muslim yang menikmati momen Ramadhan dari sisi
ekonomi. Pertama, jumlah pengusaha muslim terbatas sehingga tidak mampu
menjangkau dan memenuhi kebutuhan pasar. Kedua, tingkat loyalitas umat untuk
membesarkan pengusaha sesama muslim belum terbentuk. Dua pekerjaa menantang ini
harus dijalankan secara berbarengan.
***
Untuk mengukur tingkat loyalitas umat, bisa ditanyakan kepada diri
kita sendiri. Dari mana sembako yang kita konsumsi, di mana pakaian yang kita
kenakan kita beli, sampai kemudian dari mana makanan yang mengisi toples saat
Idul Fitri kita dapatkan. Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab dengan
jawaban: dari penjual atau pengusaha muslim. Maka satu pekerjaan sudah selesai,
tinggal usaha untuk memunculkan wirausahawan muslim. Tetapi, jika kita belum
tergerak untuk membantu para pengusaha muslim bertumbuh. Perubahan mesti
dimulai dari diri kita.
Bukankah kemampuan untuk pemenuhan bahan dan produk pangan oleh
pengusaha muslim terbatas? Pola Subtitusi. Ini harus menjadi satu pilihan. Saat
idul fitri kita tidak bisa menemukan penganan berupa roti, kita bisa
menggantikannya dengan Bakpia yang telah diproduksi di Minggir. Saat kita tak
menemukan kue, kita bisa menjadikan wingko sebagai alternatif. Wingko juga
sudah diproduksi di Minggir. Dan lain sebagainya, pola subtitusi menjadi solusi
dari belum mampunya pengusaha muslim memenuhi kebutuhan pasar.
Sebagai sebuah ikhtiar nyata, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
(MEK) PCM Minggir telah mencoba menjadi bagian dari rantai distribusi. Pengemasan
beras Ngloji misalnya, meminimalkan jalur distribusi dari petani ke konsumen. Akan
lebih bagus jika di masa datang kebutuhan pokok semisal minyak, cabe, gula dan
lainnya juga bisa disediakan oleh MEK PCM.
Pasar sore Ramadhan menjadi upaya lain MEK PCM menjembatani interaksi
langsung dari pemasar dengan pembeli dalam satu tempat yang strategis. Rencana Ramadhan
ini PCM menyediakan puluhan lapak yang bisa digunakan para pedagang dan
pengusaha muslim untuk menjual dagangan mereka. Bagi yang berminat bisa
menghubungi PCM Minggir atau Panitia Pasar Sore Ramadhan, Bapak Siswanto,
Sendangrejo.
***
Ramadhan kita untuk siapa? Jika kita membelanjakan uang justru
bukan di kios-kios milik muslim. Padahal kepada mereka sering kita minta tolong
atau ditolong. Ramadhan kita untuk siapa? Jika terkadang mengadakan kegiatan,
kita sodorkan proposal permohonan dana, sedang kita tidak berusaha belanja di
toko mereka. Ramadhan kita untuk siapa? Tentu hanya kita sendiri yang bisa
menjawabnya. [e]
0 comments: