Oleh
Syaefudin Simon*
Namanya
Abdul Rozak Fachrudin. Orang Yogya memanggilnya Pak AR. Tubuhnya gemuk, mukanya
agak bundar. Suaranya berat, tapi enak didengar.
Saya
pernah kos di "rumah"nya di Jl Cikditiro 19 A, selama hampir dua
tahun. Di awal-awal kos, sungguh aku tidak tahu siapa itu Pak AR. Saya nglamar
kos di situ karena diberitahu oleh Mas Ikhsan Haryono, mahasiswa Matematika
FMIPA UGM Angkatan 1978, teman kuliah saya yang sering menjemin buku-buku
filsafat dan sastra.
Saya
baru "ngeh" siapa itu Pak AR ketika Mas Supodo -- mahasiswa Fakultas
Tehnik Kimia UGM asal Madiun -- memberitahu siapa gerangan beliau.
Waktu
itu saya tanya ke Mas Podo -- “Kok banyak sekali kartu lebaran dari orang besar
sih Mas Podo, siapa sebenarnya Pak AR itu?” Saat itu, saya memang tidak tahu
blas siapa Pak AR.
La,
saya ini dari kecil sampai tamat SMA hidup di lingkungan pesantren klutuk. Yang
saya tahu nama orang besar itu ya… KH Idham Cholid, KH Fatah Yasin, KH
Musaddad, KH Subchan ZE, dan tokoh-tokoh NU lain. Tokoh-tokoh Muhammadiyah,
blas gak ada yang tahu. Termasuk Pak AR. Bagaimana mau tahu, wong Muhammadiyah
di kampung saya saat itu sempat dianggap aliran sesat.
Aku
lihat di meja depan kamarku, ada kartu lebaran dari Pak Harto, Pak Wapres Umar
Wirahadikusuma, Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara, Menteri Sosial, dan
banyak lagi. Batin saya, Pak AR ini pasti orang besar. Mana mungkin orang biasa
dapat kiriman kartu lebaran dari Presiden Soeharto?
"Simon,
Pak AR itu orang besar. Pak Harto saja sangat hormat kepada Pak AR," kata
Mas Podo. Pak AR itu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- tambah orang Madiun
dengan logat Jawa yang medok.
Ouh,
saya kaget juga setelah Mas Podo cerita. Saya baru tahu siapa Pak AR setelah
pemberitahuan Mas Podo tersebut. Selama ini saya baru menduga-duga kalau Pak AR
itu bukan orang biasa.
Kenapa
demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Kemana-mana naik
Yamaha warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah kretek-kretek karena
terlalu tua. Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup, sampai
bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.
Ya,
hanya motor Yamaha butut itulah kendaraan miliknya. Putra Pak AR yang kuliah di
Kedokteran UGM, Mas Fauzi, juga sering memakai motor tua itu.
Makanan
keluarga Pak AR juga sama dengan anak-anak kos. Tahu tempe, sayur lodeh,
sesekali ada telur dan ikan. Anak-anak kos yang orang tuanya kaya seperti Mas
Udin (Kedokteran UGM) jarang makan di rumah. Ia makan di warung Padang di
Terban. Saya pernah diajak Mas Udin makan di warung padang di Terban dekat MAN
I. Enak sekali. Seumur-umur, itulah pertama saya makan di warung padang.
Terimakasih Mas Udin!.
Maklumlah,
saya berasal dari desa kecil Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten
Cirebon. Di Arjawinangun saat itu, tahun 1978, tak ada warung padang. Bahkan di
kota Cirebon pun belum ada. Jika pun ada saya tak akan sanggup membeli nasi
padang yang enak itu.
Saya
sebagai anak sulung bisa merasakan bagaimana ‘rekosonya’ orang tua untuk
menghidupi anak-anaknya. Untuk makan sehari-hari saja sudah empot-empotan. Ayah
saya hanya guru SD, ibu hanya ngurus anak yang saat itu jumlahnya 8 orang.
(Tahun 1985, adik ke-11 lahir setelah saya bekerja di Batan, Pasar Jumat,
Jakarta. Hebat ya ibu saya. Tangguh dan produktif. Saya dan adik-adik sekarang,
paling banyak punya anak 5 orang. Gak sanggup seperti 'mamah' dan 'mimih').
Suatu
ketika, saat kultum usai salat Maghrib, Pak AR bercerita ada orang PT ASTRA
datang mau memberi hadiah mobil Toyota Corolla DX tahun terbaru (1980) untuk
Pak AR. Tapi Pak AR dengan halus menolaknya.
"Piye
tokh, nyopir mobil saja ra iso (Bagaimana ya, nyopir mobil saja gak bisa).
Parkirnya sulit. Repot kalau bawa mobil. Apalagi kalau harus masuk ke
kampung-kampung di pinggir Kali Code untuk ceramah. Jalannya sempit gak bisa
untuk mobil," kata Pak AR.
“Jadi
saya menolak hadiah mobil sedan Toyota itu,” ungkap Pak AR enteng. Di samping
tak bisa nyopirnya, uang untuk bensin dan memeliharanya juga gak ada. “Repot!”,
katanya singkat.
Pak AR
memang paling suka memberi pengajian di kampung-kampung kecil seperti di
pinggiran Kali Code, lereng Gunung Merapi, dan pelosok-pelosok desa lain di
sekitar Yogya. Kalau tak ada yang menjemput, Pak AR datang sendiri naik motor
Yamaha butut warna oranye tadi.Kadang-kadang dari kamar kos, terdengar Pak AR
sedang menyela Yamahanya. Grek…grek…grek…tak bunyi-bunyi. Kasihan juga.
Maklumlah motor tua. Kunci stater boro-boro ada.
Tak
hanya pemberian mobil PT Astra yang ditolaknya. Pak AR juga menolak jabatan
menteri agama. Pak AR pernah bercerita kepada kami, anak-anak kos -- ditawari
jabatan menteri agama berkali-kali oleh Pak Harto. Dan Pak AR berkali-kali pula
menolaknya.
"Saya
sudah cukup ngurusi Muhammadiyah saja Pak Harto, terimakasih" cerita Pak
AR memberi alasan penolakan tawaran Presiden tersebut.
Meski
demikian bukan berarti Pak AR gak pernah minta bantuan kepada Pak Harto.
Suatu
ketika, sehabis kuliah tujuh menit usai salat Subuh berjamaah, Pak AR berkisah
tentang permintaannya kepada Pak Harto.
“Beberapa
hari lalu saya kirim surat ke Pak Harto. Isi suratnya sedikit sekali.
Menggunakan bahasa Jawa kromo inggil.”
Isi
suratnya pendek, "Pak Harto, Muhammadiyah bade mbangun universitas di
Yogya. Menawi Bapak kerso, monggo. (Pak Harto, Muhammadiyah akan membangun
univerwsitas di Yogya. Kalau bapak berkenan menyumbang, silahkan).
"Hanya
itu isi surat Pak AR kepada Presiden. Tak lama kemudian, Pak AR ditelpon ajudan
Pak Harto.
Kata
ajudan, ada titipan dari Pak Harto untuk Pak AR. Titipannya ternyata hanya
amplop. Tapi setelah dibuka, isinya sebuah cek yang nilainya cukup besar. Cek
itu langsung diserahkan kepada Panitia Pembangunan UMY.
Itulah
awal pembangunan universitas besar di dekat ring road itu. Kita lihat saat ini,
UMY telah menjadi universitas besar di Yogyakarta. Tak kalah dengan UMS
Surakarta dan UMM Malang.
Pak AR
juga bercerita sering mendamaikan konflik antara militer dan tokoh-tokoh Islam.
"Mendamaikannya cukup memakai tata krama Jawa yang halus," kata Pak
AR. Kalau mentok, yo ngomong ke Pak Harto. Kalau sudah ke Pak Harto, semuanya
selesai.
Hubungan
Pak AR dan Pak Harto memang sangat dekat. Komunikasinya pakai bahasa Jawa kromo
Inggil. Pak Harto sangat menyukai Pak AR karena beliau tak pernah meminta apa
pun untuk kepentingan pribadi. Tawaran menteri, jabatan, komisaris, mobil,
rumah dari Pak Harto selalu ditolaknya. Kecuali untuk Muhammadiyah!
Pak AR
selalu ingat pesan KH Ahmad Dahlan: Hidup-hidupkan Muhammadiyah, jangan mencari
hidup di Muhammadiyah.
Pak AR
juga tidak pernah mau dikasih amplop kalau ceramah di mana pun. Beliau paling
suka kalau diundang orang-orang kecil di lembah Kali Code. Tapi jika dipaksa
panitia, Pak AR mau juga menerima amplop. Supaya panitia tidak gumun. Namun
begitu, sampai rumah, amplop tak dibuka sama sekali. Langung diserahkan ke PP
Muhammadiyah. Mas Fauzi, putranya, sering muring-muring (kesal) karena Pak AR
tak penah mau membuka amplop tadi.
Aku selalu ingat pesan Pak AR.
"Belajarlah untuk tidak mencintai dunia. Allah itu sangat
pencemburu," ujar Pak AR. Kalau hatimu dipenuhi cinta dunia, kata Pak AR,
di mana tempat Allah di hatimu? Sebuah pesan yang amat menyejukkan.
“Njih
Pak AR, kulo manut (Ya pak saya menurut),” batin saya. Tapi ternyata, pesan itu
sulit saya penuhi sampai hari ini. Apalagi saya hidup di Jakarta yang
kemrungsung dengan godaan dunia yang menyilaukan.
Namun,
setidaknya dengan adanya pesan itu, setiap ada masalah besar, seakan Pak AR
datang mengingatkannya.
*Mantan
Jurnalis Republika, Tenaga Ahli Fraksi PPP DPR RI
Sumber: republika.co.id
0 comments: