(Disidangkan pada Jumat, 15
Rajab 1429 H / 18 Juli 2008 M)
Pertanyaan: Banyak pertanyaan
disampaikan secara langsung maupun melalui pesan pendek (SMS) ke Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang masalah cara pelaksanaan salat
gerhana.
Jawaban: Untuk itu Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan fatwa mengenai hal
tersebut sebagai berikut:
Pendahuluan
Muktamar Tarjih XX di Garut
tanggal 18-23 Rabiul Akhir 1386 / 18-23 April 1976 telah menetapkan keputusan
tentang salat kusufain (salat gerhana matahari dan Bulan). Matan keputusan itu
berbunyi,
Apabila terjadi gerhana
matahari atau bulan, hendaknya Imam menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu
jami‘ah,” kemudian ia pimpin orang banyak mengerjakan shalat dua raka’at; pada
tiap rakaat berdiri dua kali, ruku’ dua kali, sujud dua kali, serta pada tiap
rakaat membaca Fatihah dan surat yang panjang dan suara nyaring; dan pada tiap
ruku’ dan sujud membaca tasbih lama-lama.
Ketika telah selesai shalat
ketika orang-orang masih duduk, Imam berdiri menyampaikan peringatan dan
mengingatkan mereka akan tanda-tanda kebesaran Allah serta menganjurkan mereka
agar memperbanyak membaca istighfar, sedekah dan segala amalan yang baik.
Istilah gerhana dalam
hadis-hadis disebut kusuf atau khusuf dan kedua istilah ini dalam hadis dapat
dipertukarkan penggunaannya. Hanya saja dalam literatur fikih dan di kalangan
fukaha, biasanya kata kusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan
khusuf untuk menyebut gerhana Bulan. Sering juga digunakan bentuk ganda
“kusufain” untuk menyebut gerhana matahari dan gerhana Bulan sekaligus.
Dasar
Syar‘i Salat Gerhana
Dasar syar‘i salat gerhana
matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,
Artinya: Dari Aisyah
(diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw,
maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah”. Kemudian beliau
maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali
sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].
Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a.,
ia berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak
gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda
kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan
kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].
Hadis pertama merupakan sunnah
fikliah yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat
terjadinya gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah
Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.
Cara
Melaksanakan Salat Kusufain
Apabila terjadi gerhana
matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan salat kusuf dan Imam menyerukan
ash-shalatu jami‘ah. Salat kusuf dilaksanakan berjamaah, serta tanpa azan dan
tanpa iqamah.
Dasarnya adalah hadis ‘Aisyah
yang dikutip terdahulu di mana Imam menyerukan salat berjamaah, dan dalam hadis
itu tidak ada azan dan iqamah.
Salat kusufain dilakukan dua
rakaat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam
dan sujud dua kali pada masing-masing rakaat.
Dasarnya adalah hadis Aisyah
yang telah dikutip di atas, dan juga hadis an-Nasa’i berikut,
Artinya: Artinya: Dari ‘Aisyah
(diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari lalu
Rasulullah saw memerintahkan seseorang menyerukan ash-shalata jami‘ah. Maka
orang-orang berkumpul, lalu Rasulullah saw salat mengimami mereka. Beliau
bertakbir … … …, kemudian membaca tasyahhud, kemudian mengucapkan salam.
Sesudah itu beliau berdiri di hadapan jamaah, lalu bertahmid dan memuji Allah,
kemudian berkata: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak mengalami gerhana
karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua dari
tanda-tanda kebesaran Allah. Maka apabila yang mana pun atau salah satunya
mengalami gerhana, maka segeralah kembali kepada Allah dengan zikir melalui
salat [HR al-Bukhari].
Pada masing-masing rakaat dibaca
al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).
Setelah membaca al-Fatihah dan
surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk dengan membaca tasbih yang lama,
kemudian mengangkat kepala dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa
lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu membaca al-Fatihah dan surat panjang
tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil
membaca tasbih yang lama tetapi lebih singgkat dari yang pertama, kemudian
bangkit dari rukuk dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah rabbana wa
lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah itu mengerjakan rakaat kedua seperti
rakaat pertama.
Dasar butir ke-3 dan ke-4
adalah,
Artinya: Dari ‘Aisyah
(diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat khusuf; beliau
salat dua rakaat dengan empat rukuk dan sujud [HR al-Bukhari dan Muslim, lafal
ini adalah lafal Muslim].
Artinya: Dari ‘Aisyah
(diriwayatkan) bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat kusuf [HR Ibnu
Hibban, al-Baihaqi dan Abu Nu‘aim dalam al-Mustakhraj].
Artinya: Dari ‘Aisyah, isteri
Nabi saw, (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada
masa hidup Nabi saw. Lalu beliau keluar ke mesjid, kemudian berdiri dan
bertakbir dan orang banyak berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah
saw membaca (al-Fatihah dan surat) yang panjang, kemudian bertakbir, lalu rukuk
yang lama, kemudian mengangkat kepalanya sambil mengucapkan sami‘all±hu liman
¥amidah rabban± wa lakal-¥amd, lalu berdiri lurus dan membaca (al-Fatihah dan
surat) yang panjang, tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir
lalu rukuk yang lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama, kemudian
mengucapkan sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian beliau
sujud. [Abu Thahir tidak menyebutkan sujud]. Sesudah itu pada rakaat terakhir
(kedua) beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, sehingga
selesai mengerjakan empat rukuk dan empat sujud. Lalu matahari terang (lepas
dari gerhana) sebelum beliau selesai salat. Kemudian sesudah itu beliau berdiri
dan berkhutbah kepada para jamaah di mana beliau mengucapkan pujian kepada
Allah sebagaimana layaknya, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan
Bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana
karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka segeralah
salat [HR al-Bukhari].
Perlu dijelaskan bahwa dua
prasa faqtara’a qira’atan tawilatan dalam hadis Muslim yang disebutkan terakhir
di atas diinterpretasi sebagai membaca al-Fatihah dan suatu surat panjang,
karena tidak sah salat tanpa membaca al-Fatihah. Karena farsa pertama difahami
sebagai membaca al-Fatihah dan surat panjang, maka frasa kedua yang sama dengan
frasa pertama tentu juga difahami sama. Jadi pada waktu berdiri pertama dalam
rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan surat panjang, maka pada berdiri kedua
dalam rakaat pertama juga dibaca al-Fatihah dan surat panjang.
Pemahaman seperti ini
dikemukakan oleh sejumlah ulama. Imam asy-Syafi’’i dalam kitab al-Umm
menyatakan,
Dalam salat kusuf imam berdiri
lalu bertakbir kemudian membaca al-Fatihah seperti halnya dalam salat fardu.
Kemudian pada berdiri pertama setelah al-Fatihah, imam membaca surat al-Baqarah
jika ia menghafalnya atau kalau tidak hafal, membaca ayat al-Quran lain setara
surat al-Baqarah. Kemudian ia rukuk yang lama … … …, kemudian bangkit dari
rukuk sambil membaca sami‘allahu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian
membaca Ummul-Quran dan surat setara dua ratus www.cialis-coupon.net ayat al-Baqarah,
kemudian rukuk … … … dan sujud. Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, lalu
membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus lima puluh ayat al-Baqarah,
kemudian rukuk … … …, lalu bangkit dari rukuk, lalu membaca Ummul-Quran dan
ayat setara seratus ayat bal-Baqarah, kemudian rukuk … … … dan sujud [al-Umm,
I: 280].
Kemudian asy-Syafi‘i
menjelaskan lagi bahwa apabila tertinggal membaca surat dalam salah satu dari
dua berdiri itu, maka salatnya sah apabila ia membaca al-Fatihah pada permulaan
rakaat dan sesudah bangkit dari rukuk pada setiap rakaat. Apabila ia tidak
membaca al-Fatihah dalam satu rakaat salat kusuf pada berdiri pertama atau pada
berdiri kedua, maka rakaat itu dianggap tidak sah. Namun ia meneruskan rakaat
berikutnya, kemudian melakukan sujud sahwi, seperti hal ia apabila ia tidak
membaca al-Fatihah dalam salah satu rakaat pada salat fardu di mana rakaat itu
tidak sah [al-Umm, I: 280].
Hal yang sama dikemukakan pula
oleh fukaha-fukaha yang lain. Al-‘Abdar³ (w. 897/1492), seorang fakih Maliki,
mengutip al-Maziri yang menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk dibaca
al-Fatihah dan suatu surat panjang, dan pada rakaat kedua juga demikian,
artinya membaca al-Fatihah sebelum membaca masing-masing surat [at-Taj wa
al-Iklil, II: 201]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223) dalam dua kitab fikihnya juga
menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk pertama dibaca al-Fatihah dan surat
pendek baik pada rakaat pertama maupun pada rakaat kedua [al-Kafi, I: 337-338;
dan al-Mughni, II: 143].
Setelah selesai salat gerhana
imam berdiri sementara para jamaah masih duduk, dan menyampaikan khutbah yang
berisi wejangan serta peringatan akan tanda-tanda kebesaran Allah serta
mendorong mereka memperbanyak istigfar, sedekah dan berbagai amal kebajikan.
Khutbahnya satu kali karena dalam hadis tidak ada pernyataan khutbah dua kali.
Dasarnya adalah:
Artinya: Dari ‘Aisyah
(diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa
Rasulullah saw. Lalu beliau salat bersama orang banyak. Beliau berdiri dan
melamakan berdirinya kemudian rukuk dan melamakan rukuknya, kemudian berdiri
lagi dan melamakan berdirinya, tetapi tidak selama berdiri yang pertama.
Kemudian beliau rukuk dan melamakan rukuknya, tetapi tidak selama rukuk yang
pertama, kemudian sujud dan melamakan sujudnya. Kemudian pada rakaat kedua
beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama. Kemudian beliau
menyudahi salatnya sementara matahari pun terang kembali. Kemudian beliau
berkhutbah kepada jamaah dengan mengucapkan tahmid dan memuji Allah, serta
berkata: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran
Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu
melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, salat dan bersedekahlah…
… … [al-Bukhari, lafal ini adalah lafalnya, juga Muslim dan Malik].
Artinya: … … … Maka apabila
kamu melihat hal tersebut terjadi (gerhana), maka segeralah melakukan zikir,
do‘a dan istigfar kepada Allah [HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa].
Waktu
Pelaksanaan Salat Kusufain
Salat kusufain dilaksanakan
pada saat terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,
Artinya: Dari al-Mughirah Ibn
Syu‘bah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada
hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana
itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak
gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka
berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai
gerhana) [HR al-Bukhari].
Dalam hadis ini digunakan kata
idz± (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti
pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu
melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan
gerhana di sini adalah gerhana total (al-kusf al-kulli), gerhana sebagian
(al-kusuf al-juz‘i) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman
kata gerhana (kusuf).
Ibn Qudhmah menegaskan,
Waktu salat gerhana itu adalah
sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak
ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda,
Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat
sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya
gerhana sebagai akhir waktu salat gerhana … … … Apabila gerhana berakhir ketika
salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat … … …
Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat
gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat
gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].
Imam ar-Rafi‘i menegaskan,
Sabda Nabi saw Apabila kamu
melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana)
menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang
dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara
keseluruhan. Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari
yang keluar dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak
(maksudnya waktu salat gerhana belum berakhir) dan seseorang (yang belum
melaksanakan salat gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana
hanya sebagian saja (V: 340).
Imam an-Nawawi (w. 676/1277)
menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan
matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang
yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang
tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II:
86].
Orang
Yang Melakukan Salat Gerhana
Dari penegasan pada sub D di atas,
maka dapat difahami bahwa salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada
kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami
gerhana tidak melakukan salat kusufain. Dasarnya adalah hadis yang disebutkan
terakhir [huruf D] di atas yang mengandung kata ra’aitum (‘kamu melihat’),
yaitu mengalami gerhana secara langsung, serta kenyataan bahwa Rasulullah saw
melaksanakan salat gerhana ketika mengalaminya secara langsung. Hal ini sesuai
pula dengan interpretasi para fukaha bahwa apabila gerhana berakhir, berakhir
pula waktu salat gerhana, dan apabila matahari tenggelam dalam keadaan gerhana
juga berakhir waktu salat gerhana matahari. Tenggelamnya matahari jelas terkait
dengan lokasi atau kawasan tertentu sehingga orang yang tidak lagi mengalami
gerhana karena matahari telah tenggelam di balik ufuk, tidak melakukan salat
gerhana. Begitu pula pula apabila gerhana bulan terjadi di waktu pagi menjelang
terbitnya matahari, maka waktu salat gerhana bulan berakhir dengan terbitnya matahari.
Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menegaskan,
Artinya: Sesungguhnya salat
gerhana matahari dan gerhana Bulan tidak dilaksanakan kecuali apabila kita
menyaksikan gerhana itu [Majmu‘ al-Fatawa, 24: 258].
Perempuan juga ikut
melaksanakan salat gerhana karena keumuman perintah melaksanakan salat gerhana
dalam hadis-hadis yang dikutip di atas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*sy)
Tim
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah
E-mail:
tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
Sumber:
www.tarjih.or.id
0 comments: