Oleh: Yusuf Maulana*
“Tak usah putar belit lagi,
segala rahasia Saudara sudah di tangan kami!” gertak Gondo kepada Hamka.
Lelaki berperawakan tinggi
besar dan bermuka bengis itu begitu percaya diri mampu menundukkan sosok di
hadapannya.
“Saudara mengadakan rapat
gelap di Tangerang tanggal 11 Oktober. Saudara menerima surat dari Tengku Abdur
Rahman dan menerima uang 4 juta. Saudara hendak mengadakan kup atas kekuasaan
pemerintah yang sah. Saudara ikut dalam komplotan hendak membunuh Bung Karno.
Rekan Saudara, Dalari Umar menyimpan 4 peti granat untuk dilemparkan kepada
Bung Karno,” sangka Gondo.
“Tidak ada gunanya lagi membela
diri berputar belit, semua rahasia sudah ada di tangan polisi.
Pengkhianat-pengkhianat negara akan digayang!”
Terhadap tuduhan bertubi-tubi
yang “mengerikan” itu, Hamka terkejut bukan kepalang. Tak disangka ia dicap
sebegitu rupa buruknya: sebagai pengkhianat negara! Bagaimana ia bereaksi?
Dalam tuturan kepada putranya, Rusjdi, di buku Pribadi dan Martabat Buya Prof.
Dr. Hamka (1981), Hamka menolak keras bahkan hendak melawan.
“Ketika dia mengucapkan
‘pengkhianat’ itu nyarislah saya silap. Satu penghinaan yang paling besar,
padahal masih dalam pemeriksaan,” ujar Hamka. “Hampir saya berdiri hendak
membantah dengan keras, sebab saya sudah mulai marah dan lupa bahwa saya
berhadapan dengan polisi.
Syukur saya ingat kembali dan
cepat sadar bahwa melawan pada saat itu berarti mati. Padahal cara yang
demikian barangkali sudah diatur, agar saya melawan dan mudah saja menyiarkan
di surat-surat kabar: ‘Hamka tertembak mati ketika melawan polisi dalam
pemeriksaan karena pengkhianatan’.”
Firasat Hamka benar. Dan putusannya
untuk menolak tuduhan sang pemeriksa adalah bersumpah. Sumpah Hamka sejatinya
juga tidak berguna karena di mata alat penguasa kala itu, tak peduli soal
kebenaran atau akurasinya fakta. Yang penting adalah membuikan sesegera mungkin
Hamka, salah satu musuh penguasa, hanya karena perbedaan ideologi dan pandangan
politik.
Sebagai politisi Masyumi,
Hamka diradar karena dianggap pengancam stabilitas negara. Padahal, Masyumi
sendiri kala Hamka ditangkap hampir bersamaan dengan rekannya Ghazali Sjahlan
dan Jusuf Wibisono, sudah bubar atas perintah Presiden Sukarno. Tapi, dendam
dan kebencian para penjilat Presiden tak sampai di situ.
Kendati dicap “pengkhianat”
oleh penguasa, senyatanya aktivitas dakwah Hamka di Masjid Al Azhar dan
beberapa media islami banyak menyerukan soal persatuan muslimin. Ambil sebagai
contoh: sekira setahun sebelum penangkapan, Hamka menulis di Gema Islam, esai
bernas lagi menantang pikiran umat agar tiap Muslim tidak alergi dengan
perbedaan.
Masalah khilafiyah, tulis
Hamka, bukan untuk dijauhi, malah mestilah didiskusikan dalam rangka mencari
kebenaran. Upaya ini tidak ada kaitan dengan merusak sendi-sendi persatuan.
“Apabila akhlak, sopan-santun,
harga menghargai, ukhuwwah dijaga dengan baik, maka orang akan dapat mengoreksi
fahamnya sendiri, dan ruju’ (kembali) kepada kebenaran kalau dia merasa bahwa
fahamnya ternyata salah,” tulis Hamka dalam Gema Islam No. 42 (15 Oktober
1963).
“Dengan bertukar fikiran yang
tidak bersifat jidal dan miraak, dengan rendah hati dan insaf bahwa kita adalah
manusia, tidak akan sunyi dari khilaf dan tersalah, dan memandang pula bahwa
yang kita hadapi bukanlah musuh, tetapi kawan dalam satu tujuan, yaitu
‘thalabul haqq’, mencari kebenaran, maka khilafiyah itu akan dengan sendirinya
mempertinggi kecerdasan kita dan menambah majunya cara kita memikirkan agama.”
Potensi perbedaan di ranah
fiqih pada kurun itu memang rentang diboncengi dengan isu politik. Hamka sadar
ancaman ini. Sembari menyerukan soal persatuan, ia mengajak umat untuk
memikirkan solusi ketika menghadapi perbedaan.
Bagi yang memahami garis
berpikir Hamka, akan tahu bahwa putra ulama kenamaan Haji Rasul dari Minang ini
ingin umat Islam di tanah air mampu menyelesaikan persoalan tanpa dengan adu
otot. Yang dikehendaki adalah adu argumen sembari menjaga adab. Tidak lebih
dari itu.
Maka, mengherankan bila
kemudian dakwah atau seruan Hamka seperti itu dikontradiksikan dengan tuduhan
aparat seputar misi dan niat jahatnya kepada penguasa. Sebegitu busukkah hati
Hamka kepada Sukarno dan pendukungnya hingga harus ada bersitan membunuh sang
proklamator? Kelak terbukti, semua tuduhan itu hanya akal-akalan para penjilat
Sukarno, terutama dari kalangan komunis.
Fitnah bertubi-tubi bahwa
Hamka pengkhianat negara adalah paradoks yang hendak disematkan pada ulama ini
yang sudah mendapat tempat di banyak kalangan. Hamka, bagaimanapun caranya,
harus dicap sebagai antek kolonialis, tak peduli kenyataan sebenarnya. Yang
harus diadakan adalah bagaimana menampilkan wajah hipokrit seakan itulah Hamka
yang kajian-kajiannya kala itu banyak digandrungi di sekitar Ibu Kota.
Dalam mengelola perbedaan,
tulis Hamka dalam kelanjutan tulisannya di Gema Islam, yang termuat pada No. 43
(1 November 1963), “Kecemasan menghadapi khilafiyah dalam hal-hal seperti ini
(kemasyarakatan), mungkin timbul dari ‘murakkabun naqshas’, yaitu takut
menghadapi kenyataan.”
Kiranya “takut menghadapi
kenyataan” juga berlaku tidak hanya pada soal fiqih di sesama Muslimin. Frasa
ini ternyata relevan dalam menilai sikap negara terhadap warganya, dan ini
berlaku bagi siapa saja tanpa terkecuali.
Berbeda, berselisih, hingga
bertentangan masihlah batas wajar manakala adab-adab dijaga. Dalam timbangan
majelis ilmu ataukah dalam sebuah relasi bernegara, semua ini berlaku.
Kebenaran yang hendak diungkap dan ditegakkan tidak berarti menghalalkan segala
tuduhan demi menyingkirkan pesaing dalam perbedaan tersebut. Manakala yang
menyeruak keinginan menyingkirkan, yang ada hanya klaim atas nama kebenaran
lalu dizalimilah pihak lain.
Kisah pemeriksaan Hamka di
atas menjadi contoh ketika perdebatan soal ketepatan tuduhan berkhianat pada
negara dipersempit sebagai makian dan monopoli kebenaran pemegang kekuasaan.
Yang selain pemegang kuasa harus ikut dan menurut saja dengan tudingan sarat
fitnah si penguasa.
Sikap tidak jantan yang hanya
menuduh dan menyebarkan teror kepada pihak yang tidak disukai merupakan bentuk
“takut menghadapi kenyataan”. Tak ingin kenyataan yang sebenarnya menjadi fakta
yang diketahui jamak. Malah yang kemudian diperbuat adalah membuat kenyataan
yang berkebalikan bagi pihak yang dibencinya. Sebutan “pengkhianat” ingin
diabsahkan pada Hamka dan para politisi atau ulama berafiliasi Masyumi ketika
itu. Seakan-akan mereka sosok antagonis yang menggerogoti Republik ini.
Senyatanya, yang menuduhlah
yang kelak terungkap sebagai penjahatnya. Mereka inilah yang kemudian antipati
pada seruan-seruan yang ingin menyatukan kekuatan kebenaran, dalam hal ini yang
di genggaman Muslimin. Beserpihannya Muslimin, bagaimanapun juga, keuntungan
bagi mereka. Kendati ada saja anasir umat yang memihak para pemfitnah itu,
sayangnya. Tanpa terkecuali pada babak ketika Hamka dan kawan-kawan dipersekusi
hingga dibuikan Orde Lama.
Seruan bersatu bagi Muslimin
tidak disukai pihak-pihak lain berlaku pula pada hari ini. Orang yang
menyerukannya dituding seperti bermuka dua yang merobek-robek persatuan
nasional bahkan hingga dipertentangkan dengan kesepakatan bersama, Pancasila.
Inilah yang mestinya disiapkan dalam relung batin pada juru dakwah dalam
segenap aspek, tak terkecuali para politisi Muslim.
Hari ini nasib mirip dialami
Hamka tersebut berulang; sebut saja sebagaimana dialami dai kondang Abdul Somad
dari Riau. Dai-dai seperti Abdul Somad yang menyerukan persatuan kelompok Islam
dicap sebagai penyeru anti-Pancasila, melawan kemajemukan, dan tuduhan “seram”
lainnya. Ujungnya, ia pantas dibenci dan dilarang aparat untuk berceramah. Tak
peduli ketika perhelatan mengundang dai-dai itu di mancanegara; pemerintah
seperti bungkam dengan adanya penegatifan sedemikian rupa.
Apakah seruan bersatu itu sama
artinya ketidaksiapan kekuatan berkuasa “takut menghadapi kenyataan”? Takut
karena kebaikan yang digembar-gemborkan itu tidak seperti publikasi di media
corongnya? Lantas mengapa pula harus ada fitnah—sebagaimana aduan sebuah sayap
partai pendukung penguasa—bahwa mereka yang di lapangan ingin menyatukan
kekuatan Muslimin seakan “subversi”, sebagai gerakan melawan pemerintah,
ataupun melawan Pancasila? n
*)
Pustakawan, penulis buku "Mufakat Firasat" dan "Panggilan
Bersatu"
Sumber:
Republika.co.id
Telah Terbit buku baru tentang Buya HAMKA
Buya Hamka, Ulama Umat Teladan Rakyat
Penulis : Yusuf Maulana
Halaman : 352
Dimensi : 15,5x24 cm
Berat : 365 gr
Tahun : 2018
ISBN : 978-602-7820-94-4
Kategori : Biografi
Harga : 80.000 (diskon 20%)
Bayar : Rp 64.000,-
Sinopsis :
Hamka bocah begitu bengal hingga harus dididik keras oleh keluarganya?
Hamka remaja mudah jatuh hati pada wanita yang ditemuinya?
Hamka berkenan jadi "penjilat" pada masa pendudukan Jepang?
Hamka berseteru dengan Sukarno, kawan lama sekaligus anak angkat ayahnya?
Hamka dipenjarakan gara-gara laporan mahasiswanya?
Hamka mendukung kenduri kematian dan berkenan dibaiat masuk tarekat?
Hamka miliki adik yang berbeda iman?
Hamka, alias Haji Abdul Mali Karim Amrullah. Namanya masih menjejak kuat di sanubari umat Islam yang membaca karya-karyanya atau menyimak rekaman ceramah-ceramahnya. Walau ada saja orang-orang yang bersungut pada kiprahnya, namanya tetap harum dikenang. Di antara bentangan perjalanan hidupnya, ada banyak kisah yang terluputkan atau jarang diperbincangkan. Di sisi lain, tidaklah sunyi nama Hamka muncul dalam kisah-kisah yang diragukan akurasi kebenarannya. Buku ini jawaban berhujah lagi memikat untuk ketidaktahuan dan kedustaan yang berseliweran seputar hidup Hamka, sang ulama umat teladan rakyat.
Untuk informasi lengkap atau pemesanan silakan via WA ke 085-743-141-977
Atau klik menu chat whatsapp berikut
0 comments: